Minggu, 17 Maret 2013

Abu Nawas dan Pukulan yang Menjadi Dinar


Abu Nawas dan Pukulan yang Menjadi Dinar

Pada suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun berbicara dengan Sultan dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan. "Bukankah Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal? Aku ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dinar.
"Hai, Abu Nawas," titah Sultan, "Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus dinar."
Abu Nawas kaget. "Bukankah ia sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal, tapi mengapa beliau memerintahkan itu," pikirnya.Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu. "Baiklah, tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari," jawabnya mantap. Setelah itu ia pun mohon diri.
Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi lagi.Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu.
"Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan ibu angkat?" kata Abu Nawas.
"Kenapa engkau berkata demikian?" tanya si Ibu tua itu. "Apa alasannya?"
Maka diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya. "Uang itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan," kata Abu Nawas.
"Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi permintaanmu itu."
Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana.
"Baiklah anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu," kata si ibu tua."Dan terutama kepada Ibuku ..." Keesokan harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam kepada Sultan. "Waalaikumsalam, Abu Nawas," jawab Sultan. Setelah itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya sultan melihat Abu Nawas menggendong seorang perempuan tua. "Siapa yang kamu gendong itu?" Tanya Sultan. "Diakah ibumu?" Tapi kenapa siang begini kamu baru sampai? " "Benar, tuanku, inilah ibu Patik, beliau sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya sangat jauh. Itu sebabnya patik gendong ibu kemari, "kata Abu Nawas sambil mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan. Setelah duduk ibu tua itu pun memegang tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, "Ibumu sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau berhenti?" Sembah Abu Nawas, "Ya tuanku Syah Alam, suami ibu patik ini 99 banyaknya. Ia sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya. " Seratus Dinas Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan. "Ya tuanku Syah Alam," katanya, "Adapun patik ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Bila sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas. Dia berpesan agar patik menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan diterimanya dari tuanku. " Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta izin untuk dipertemukan dengan Sultan. "Ya tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?" "Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan memberi hadiah uang seratus dinar, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku," kata Sultan. "Ya tuanku, Syah Alam," kata Abu Nawas, "Patik berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, patik terimalah hukuman itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini. " Dalam hati Sultan bergumam, "Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri." Setelah itu Sultan memberi lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemukannya. Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas. "Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat penghargaan dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja." "Hmm ... ya, terimalah pula bagianmu," ujar beliau sambil tersenyum, "Ini ..." Semua orang tertawa dalam hati. Setelah Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing. 

Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam


Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam

Ada seorang saudagar di Bagdad yang memiliki kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi sampai separuh malam. "Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit," kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam. Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. "Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini hari? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit, "kata si pedagang. "Baiklah akan kucoba," jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. "Boleh juga," katanya kemudian. "Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu," kata si pedagang. Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya tentang rencana berendam di kolam itu. "Istriku," kata si pengemis sesampainya di rumah. "Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya. " "Setuju," jawab si istri, "Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu." Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. "Nanti malam jam delapan kamu bisa masuk ke kolamku dan bisa keluar jam enam pagi," kata si saudagar, "Jika terus akan ku bayar upahmu." Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi. Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, "Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan." Namun si pengemis tidak mau kalah, "Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air? " "Aku tetap tidak mau membayar upahmu," kata saudagar itu ngotot. "Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu." Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, "Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi," pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu bahkan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga. "Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini," kata si pengemis dengan nada putus asa. "Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan." Doanya dalam hati. Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol.Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan."Hai, hamba Allah," Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. "Mengapa Anda terlihat murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah. " "Memang benar hamba sedang dirundung malang," kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya. "Jangan sedih lagi," kata Abu Nawas ringan. "Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah. " "Terima kasih banyak, Anda bersedia menolongku," kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah.Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. "Apa kabar, hai Abu Nawas?" Sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. "Ada masalah apa gerangan hari ini?" "Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam," jawab Abu Nawas. "Jika tidak keberatan patik silahkan beliau datang kerumah patik, sebab patik punya hajat." "Kapan aku harus datang ke rumahmu?" tanya Baginda Sultan. "Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku," jawa Abu Nawas. "Baiklah," kata Sultan , aku pasti datang ke rumahmu. "Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan. Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah panci besar pada sebuah pohon, menjerangnya - menaruh di atas api. Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, " kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum? "gerutu Sultan. Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, "Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam." Beliau pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut beliau yang buncit itu telah keroncongan. "Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda. "Sebentar lagi, ya Syah Alam," sahut tuan rumah. Beliau masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, beliau tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya. "Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga beliau Sultan. Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan beliau. "Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak," jawabnya."menanak nasi?" tanya beliau, "Mana periuknya?" "Ada, Tuanku," jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas. "Ada? "tanya beliau keheranan. "Mana?" Ia mengangkat wajahnya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak pada sana sebuah panci besar tergantung jauh dari tanah. "Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?" tanya Sultan. "Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi." "Begini, Baginda," Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. "Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan dipekerjakan sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam. "Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. "Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini." "Boro-boro nasi itu akan matang," kata Sultan, "Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh." "Demikian pula halnya si pengemis," kata Abu Nawas lagi. "Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si ​​pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat. "Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya. "Sekarang aku ambil keputusan begini," kata Sultan."Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar. " Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam kondisi lapar dan haus. Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan. 

Nasrudin dan Tiga Orang Bijak


Nasrudin dan Tiga Orang Bijak

Pada suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak.Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa tersebut. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.
Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, "Di mana sebenarnya pusat bumi ini?"
Nasrudin menjawab, "Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara."
"Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?" tanya orang bijak pertama tadi.
"Kalau tidak percaya, "jawab Nasrudin," Ukur saja sendiri. "
Orang bijak yang pertama diam tak bisa menjawab.
Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan. "Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?"
Nasrudin menjawab, "Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini."
"Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?"
Nasrudin menjawab, "Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya. "
"Itu sih bicara goblok-goblokan," tanya orang bijak kedua, "Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai."
Nasrudin pun menjawab, "Nah , kalau saya goblok, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit? "
Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.
Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling cerdas di antara mereka. Ia agak terganggu oleh kecerdikan nasrudin dan dengan ketus bertanya, "Tampaknya Anda tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu." "Saya tahu jumlahnya," jawab Nasrudin, "Jumlah bulu yang ada pada ekor kelesai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara. "
"Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?" tanyanya lagi. "Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Nah, kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru. "
Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu. Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang terbijak di antara keempat orang tersebut.

LEBIH SUKA MASUK PENJARA


LEBIH SUKA MASUK PENJARA

Beliau Harun Ar Rasyid memiliki dua orang putra dari permaisurinya.Putranya bernama Al Amin dam Al Ma'mun Al Amin ternyata sangat bodoh dan pemalas. Sedang Al Ma'mun terkenal rajin dan pintar dalam bidang ilmu sastra. Raja sangat menyukai Al Ma'mun karena kepintarannya tersebut. Ini tentu membuat permaisuri tidak suka lantaran sang Raja dianggap pilih kasih. Padahal keduanya sama-sama putranya. "Suamiku kenapa Anda tidak begitu menyayangi Al Amin?", tanya permaisuri Zubaidah kepada sang Raja "Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal ilmu sastra", jawab sang Raja"Suamiku, sebenarnya kalau mau Al Amin akan lebih menguasai ilmu sastra dari pada saudaranya. Sebenarnya ia lebih cerdas, hanya ia malas saja, ", kata permaisuri mencoba membela Al Amin "Apa buktinya?" "Baik, tidak lama lagi Anda akan melihat buktinya" Pada suatu siang sang permaisuri memanggil putranya Al-Amin, "Aku baru saja berdebat dengan ayahmu tentang dirimu, "kata sang permaisuri kepada putranya. "Aku tidak rela kamu dipandang sebelah mata dan dibanding-bandingkan dengan kakakmu. Karena itu kamu harus bisa menandinginya. Mulai sekarang kamu harus tekun belajar ilmu sastra, agar menjadi panyair yang hebat. " Sorenya Al Amin pergi meninggalkan istana menuju sebuah tempat yang sepi. Di tempat itulah ia mencoba mengasah pikirannya yang bebal. Ia berusaha menulis bait-bait syair tanpa seorang guru - tanpa bimbingan siapapun. Beberapa minggu kemudian setelah merasa mampu menguasai ilmu sastra dan menulis bait-bait syair, Al Amin kembali ke istana. "Jadi kamu sekarang sudah bisa menulis syair, putraku?", tanya sang permaisuri Zubaidah ketika menyambut kedatangan putranya tersebut dengan gembira. "Sudah!", jawab Al Amin. "Kalau begitu besok aku akan panggil Abu Nawas untuk menguji karya syairmu" Esoknya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri . "Abu Nawas coba kamu dengan karya syair putraku ini", kata sang permaisuri dengan bangga. "Baik, silahkan", kata Abu Nawas Al Amin lalu membacakan beberapa bait karya syairnya sebagai berikut: "Kami adalah keturunan bani Abbas.Kami duduk diatas kursi " Abu Nawas hampir tidak sanggup menahan tawanya mendengar syair tersebut. "Bagaimana?", tanya Al Amin kepada Abu Nawas. "Yah, begitulah. Kalian memang dari keturunan yang mulia ", jawab Abu Nawas ngeledek," Tapi coba teruskan " "Kami berperang Dengan pedang dan tombak pendek " "Syair macam apa itu!!!", celetuk Abu Nawas yang sudah tidak mau berbasa-basi lagi. Al Amin marah sekali mendengar cemooh Abu Nawas tersebut. Ia lalu menyuruh pasukan untuk menangkap dan memasukan Abu Nawas ke dalam penjara. Selama beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga Raja Harun Ar Rasyid merasa rindu. Belakangan sang Raja mendengar kabar bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin. Ia kemudian mengajak putranya ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas. "Kenapa kamu memenjarakannya?", tanya sang Raja. Al Amin kemudian menceritakan semuanya. "Yang sangat menyakitkan ia telah berani mencemooh syair karyaku, ayahanda", kata Al Amin "Tentu saja karena memang karya syairmu jelek. Dia itu kan memang penyair hebat. Jadi bisa menilai mana karya syair yang bagus dan yang tidak bagus. Lagi pula apa yang ia katakana itu jangan kamu anggap sebagai ejekan, melainkan sebuah kritikan yang harus kamu terima dengan lapang dada ", kata sang Raja menasehati. "Baik, kalau begitu beri aku kesempatan lagi untuk memperbaiki karya syairku", kata Al Amin sambil beranjak pergi.Untuk kedua kalinya Al Amin pergi ke tempat yang sepi guna mengasah pikiran dan mendalami ilmu sastra agar bisa menulis syair yang benar-benar bagus. Beberapa pekan kemudian ia sudah pulang ke istana. Esoknya pagi-pagi sekali beliau Raja Harun Ar Rasyid, Abu Nawas serta beberapa penyair sudah berada di istana. Rupanya pertemuan tersebut sudah diatu oleh sang permaisuri Zubaidah. Ia ingin mereka mendengar karya syair putranya yang baru saja pulang mendalami ilmu sastra. "Dengarkan karya syair putraku Al Amin", kata sang permaisuri Zubaidah. "Baik, silahkan", kata Abu Nawas Al Amin lalu membacakan beberapa bait karya syairnya sebagai berikut:" hai binatang yang duduk bersimpuh Rasanya tidak ada yang setolol kamu Kamu seperti hidangan kinafah Yang diolesi dengan minyak biji hardal dan minyak sapi yang kental Seperti warna seekor kuda belang " Begitu selesai mendengar syair tersebut Abu Nawas langsung bangkit dan hendak berlalu dari tempatnya. "Kemana kamu Abu Nawas? ", tanya sang Raja Harun Ar Rasyid. "Saya lebih suka balik ke penjara saja, dari pada mendengar syair macam ini. Toh sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh pengawal untuk membawaku kembali ke penjara ", jawab Abu Nawas. Raja tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Abu Nawas itu. Sementara sang permaisuri Zubaidah hanya bisa duduk bengong. Kini ia sadar dan yakin bahwa putranya Al Amin memang bodoh. 

Robot Detektor Kebohongan

Robot Detektor Kebohongan
Maman adalah seorang genius, profesor pintar yang berhasil menciptakan sebuah robot canggih, yang memiliki kemampuan mendeteksi kebohongan apapun yang dikatakan oleh manusia. Si Robot akan menampar siapapun yang mengucapkan kebohongan. Dengan bangga, Maman membawa robot itu kerumah untuk dipamerkan pada anak dan istrinya. Maman menunggu anaknya pulang untuk memperlihatkan hasil karyanya yang tercanggih itu. Tetapi, anaknya tak kunjung pulang. Setelah sekian lama, baru sore hari lah si anak pulang. "Asep, kamu dari mana? kok jam segini baru pulang" tanya si Maman "Ada pelajaran tambahan pap" jawab Asep, sang anak. * PLAK!!! * Sang Robot menampar si anak dengan keras. "Asep, ini adalah robot ciptaan papap, dia akan menampar siapapun yang berbohong! Sekarang katakan dengan jujur, kenapa kamu pulang telat??! " "Maaf pap .... aku habis menonton film di rumah teman " "Film apa?" "Film Komedi pap" * PLAK!!! * "Ayo katakan dengan jujur ​​film apa??" "Maaf pap ... saya menonton film porno", jawab Asep sang anak sambil menunduk . Mendengar jawaban Asep, Maman seketika marah. Matanya melotot.Sambil menunjuk-nunjuk, Maman berkata: "Kamu ini yah ... Kecil-kecil udah punya kelakuan kayak gitu? Kalo besar itu kamu mau jadi apa???! Kurang ajar kamu ya ... bikin malu papap ajah." "Perbuatan yang benar -benar memalukan!!! papap waktu seumuran kamu gak pernah senakal kamu tau!!! " * PLAK * Maman sang profesor di voli keras oleh si Robot. Seketika, suasana rumah hening beberapa saat. Istri Maman, yang sedari tadi mendengarkan kejadian tersebut keluar kamar dan langsung berkata: "Abang ini gimana sih??? Sama saja kelakuannya kayak anaknya! Buah Apel gak pernah jatuh jauh dari pohonnya kan? Inget Bang, bagaimanapun, Asep itu anak Abang, jadi ...." * PLAK * Si robot menampar istri Maman sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya Dan, seketika suasana rumah hening ....heninggggggggggg begitu lama.

Anak Nakal dan Nenek

Anak Nakal dan Nenek
Suatu pagi, seorang anak lelaki kecil keluar dari kamarnya dan bertanya pada neneknya, 
"Nek, mana Papa dan Mama?" 
"Mereka masih di dalam kamar cu.", jawab neneknya. 
Anak itu tertawa, kemudian sarapan sendirian lalu pergi bermain. 
Ketika pulang, hari sudah siang. Si anak lelaki itu bertanya lagi pada neneknya, 
"Nek, di mana Papa dan Mama?" 
"Mereka masih di dalam kamar cu.", jawab singkat neneknya. 
Anak itu tertawa geli, lalu menghabiskan makan siangnya dan pergi bermain lagi. 
Malam harinya si anak baru pulang untuk makan malam. Sebelum makan si anak itu bertanya lagi pada neneknya. 
"Nek, mana Papa dan Mama?" 
"Dari tadi pagi mereka masih dikamar, cu", kembali neneknya menjawab. 
Anak itu kembali tertawa geli. 
"Kenapa sih kamu ketawa-ketawa?", tanya neneknya keheranan. 
Si anak menjawab: 
"Semalam kan papa masuk kamarku, minta gel pelembab kulit, tapi saya kasih lem super glue ..."

Sabtu, 16 Maret 2013

Cerita Lucu Nama Ambil Dari Al-quran



Doni dan Tono adalah sahabat sejati, keduanya baru saja di karuniai seorang anak. dan pada suatu saat meraka bertemu terjadilah percakapan berikut.

Doni : No, anak lo namanya siapa?
Tono : Azis, ambil dari Al-quran tuh
Doni : anak gue namanya juga ambil dari Al-quran
Tono : siapa?
Doni : Saitonirojim
#tibatibahening